Seperti tahun-tahun sebelumnya, Soraya Intercine Film selalu
mengeluarkan film besar di akhir tahun. Bukan cuma diangkat dari cerita-cerita
besar, tapi juga menggunakan budget yang super besar, yang kadang terasa “ngga
perlu sampe segitunya juga bisa kaleee”. Tahun ini, Soraya memproduksi
Supernova: Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh, novel pertama dan novel paling laris sepanjang masa (#lebay) dari
Dewi Lestari.
Novel Supernova: Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh adalah novel Dewi
Lestari pertama yang gue baca sampai tuntas. Novelnya menarik. Gue suka gimana
dia membungkus cerita perselingkuhan biasa jadi terasa luar biasa karena
dibumbui oleh bahasa-bahasa sains yang super keren. Begitu lihat teaser dan trailer filmnya, gue betul-betul semangat. Trailer-nya megah! Trailer-nya keren! Filmya
pasti keren juga!
Tapi… Cukup sulit ternyata menggambarkan perasaan gue sebagai pembaca
Supernova setelah menyaksikan filmnya. Entah mengapa, gue merasa bahwa film Supernova hanya ditujukan bagi para pembaca bukunya, yang memang mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Kalo ngga, gue rasa orang-orang akan bertanya-tanya, “ini jadi maksudnya gimana sih?” Karena filmnya tidak menggambarkan dengan jelas bahwa ada dunia parallel di sana, dunia Dimas-Ruben dan dunia Ferre-Rana, dengan Diva/Supernova sebagai penghubung keduanya.
Di satu sisi, gue cukup senang dengan interpretasi novel ke filmnya,
karena jarang banget lho, pembuat film menggambarkan filmnya 95% sama dengan
novelnya, karena biasanya pasti banyak sekali gubahan di sana sini. Tapi di
Supernova, bukan cuma alur cerita, dialognya bahkan plek-plekan sama seperti di
buku. Entah memang diniatkan seperti itu, atau si penulis (Donny Dirghantoro
dan Sunil Soraya) takut mengubah dialognya karena takut malah jadi mengubah
artinya (dan susah juga sih bok emang mengubah dialog science dengan arti yang
susah, ke bahasa manusia yang mudah dipahami).
Tapi herannya, mereka berani mengubah ending-nya menjadi sesuatu yang….
Aneh. Dan antiklimaks. Ketika adegan semestinya sudah berakhir dan credit title
seharusnya muncul, eeehhh.. malah ada perpanjangan adegan yang diulang, dan
diulang, dan diulang, selama kurang lebih 15 menit. Buat apa?
Di sisi lain, gue sebel banget sama representatif dari beberapa
karakter utama, dan ini merupakan kesalahan casting director-nya – as
if there is one, pfft. Paula Verhoeven adalah kegagalan terbesar Supernova. Ialah suara pembuka dari film ini. Dan, first impression menentukan segalanya kan? Ia tokoh sentral film ini. Ialah Sang Supernova. Ialah dewi yang
bukan cuma memiliki paras cantik, tapi juga otak yang luar biasa pintarnya. Tapi
Paula oh Paula, ia membuat tokoh Diva (dan Supernova) menjadi tokoh yang sangat
bodoh ketika ia berbicara. Setiap ia membuka mulutnya, rasa-rasanya gue pengen
nyumpelin batu biar dia ngga ngomong. Suaramu annoying sekali lho,
nduk. Just get back to your modeling career and never ever try to act in a
movie (or in anything that requires acting AND speaking) again. Just pose and
smile, you’re pretty.
Sebegitu buruknya Paula, membuat akting pemain lainnya jadi terlihat…
Lumayan. Bisa diterima. Masih bisa dimaafkan. Raline yang expression-less jadi
terlihat lumayan oke jika dibandingkan dengan Paula. Fedi Nuril yang juga sama
datarnya juga masih bisa diterima, jika dibandingkan dengan Paula. Junot yang terlalu
kurus dan kharisma orang kaya dan suksesnya tidak ada pun masih bisa gue
tolerir. Semua karena Paula.
Untung, Supernova masih punya Arifin Putra dan Hamish Daud. Arifin Putra
tak istimewa (apalagi mengingat perannya di The Raid 2), tapi ia memainkan
porsinya dengan pas. Dan Hamish Daud my darling, tampil.. umm.. cukup bikin
bergidik – but in a good way – memerankan karakter Dimas. Chemistry Arifin dan
Hamish sebagai gay couple belum terlalu kuat, tapi pembawaan mereka bisa gue
percaya.
Nonton film Supernova tanpa baca novelnya tuh hampir sama seperti lo
baca tulisan gue ini, tapi lo belom baca atau belom nonton filmnya sebelumnya. Lo
ngga bakal ngerti gue ngomongin apa.
Btw, gue penasaran, Dewi Lestari berkomentar apa ya soal Supernova?
I have been waiting for you review. Dan aku setujuuu banget. Sebagai penggemar KPBJ versi buku, aku juga ngerasa hal yang sama. Bakal susah banget orang-orang yang belum baca untuk nonton. Dan terusterang menurut aku malah Raline nya pengen aku tendang jauh-jauh ke sumur hahahahahaha. Semua pemain wanitanya payaaah. Pemain prianya masih sedikit mending. I had a mixed feeling after watching it as well. Looking forward to your next review. On my list, mau nonton "Kapan Kawin" hahaha
BalasHapusWaaa.. Terima kasih sudah membaca review-review-ku, hehe :) Coming next ada Pendekar Tongkat Emas dan Merry Riana, lagi dalam proses :p
HapusHahaha iya bangettt pas liat Raline di trailer, hadeehh ini orang.. hahaha.. Cuma begitu liat Paula... Jeng jeng... Raline jadi mendingan lah yaa..
Sama nih, aku nunggu banget Kapan Kawin! Tapi sebelumnya ada Di Balik 98 dulu di bulan Januari, itu juga menarik.. Barusan liat trailernya dan penasaran sama akting Chelsea Islan di sana. :)
Betul. Pendekar Tongkat Emas sudah masuk to-watch-list. Kalau merry riana dan di balik 98 aku tunggu kamu review aja hahahaha. Yang pasti, aku tetap semangat nungguin Filosofi Kopi, walaupun nyaris semua bukunya DEE yang diadaptasi ke film, nggak ada yang cetar. Hahaha
HapusPaula Verhoeven adalah kegagalan terbesar Supernova <---- setuju :(
BalasHapusSaya merasa beruntung karna menonton supernova tanpa membaca novelnya, karna cara menikmati film dan novel menurut saya berbeda :)
BalasHapusDan menurut saya soraya punya modal yang bagus untuk dibilang bahwa industri film emang harus kaya soraya penggarapan filmnya yang niat banget dan emang harusnya sampe segitunya.... hehe terima kasih....
Saya setuju untuk Paulanya, memang kalau aktingnya gak keliatan natural, tapi setidaknya untuk bagi pemula dia lumayan baik lho, tatapan matanya amat beraura bgt.
BalasHapusBisa dibilang komen gue ini udah expired kali ya hha
BalasHapusJujur dr awal gue udah ragu buat nonton film ini. Kenapa? Krn dr awal gue ga yakin kalau film ini dpt mewakili novelnya dgn baik, entah itu dr dialog atau akting pemainnya. Dan ternyata, voila, gue bener. Gue jga setuju kalau si Paula blm berhasil di film ini. Doi emang cantik sih, tpi pas lgi ngomong malah jdi pengen gue lakban.