Review: Rumah Gurita (Jose Poernomo, 2014)


Hitmaker Studios secara konstan membuat film-film horror berdasarkan legenda urban sejak tahun 2012. Ada Rumah Kentang, 308 Samudera Hotel, Mall Klender, dan yang terbaru: Rumah Gurita. Formulanya hampir selalu sama, sutradaranya sama, pemain utama wanitanya sama, dan yang terpenting, film-film horror Hitmaker Studios memiliki ciri khas. Hitmaker Sutdios memberikan atmosfir horror yang sudah jarang ditemui di film-film horror Indonesia belakangan; dengan penampakan hantu yang jarang, visual yang cantik, dan kadar horror yang tepat. Walau ceritanya tidak pernah istimewa, pun penampilan Shandy Aulia, tapi Hitmaker Studios nampaknya sudah memiliki fanbase di bioskop (salah satunya gue), terbukti dari jumlah penonton yang selalu mencapai angka fantastis di semua filmnya.

Hal yang sama terjadi pada Rumah Gurita. Memasuki minggu ke-3nya, Rumah Gurita masih berdiri kokoh di jejeran film-film yang sedang diputar di bioskop. Belum lagi jumlah penontonnya yang sudah menembus 250 ribu penonton. Tapi sebagai penggemar film-film horror dari Hitmaker Studios, gue betul-betul kecewa sama Rumah Gurita. Buat gue, Rumah Gurita adalah film terbodoh dari Hitmaker, seolah-olah Hitmaker mau mulai berubah jalur, ngga menetap pada jalan yang sudah dibangunnya dari awal: pure horror. Di Rumah Gurita, Hitmaker menambahkan satu elemen yang berlebihan dan tidak perlu sama sekali. Elemen apa kah itu? Baca di bawah nanti.

[SPOILER ALERT]

Adegan pembuka sudah membuat sakit mata. Warna layar jadi oranye sekali. Tidak berapa lama kemudian muncul tulisan “Jakarta, 1962”. Gue berpikir, “ohh mungkin ini untuk menggambarkan perbedaan masa itu dan masa kini kali ya, karena akan ada dua zaman yang berbeda.” Tapi ternyata, sampai credit title muncul, tahunnya hanya tahun 1962 saja – yang kemudian membuat gue bertanya-tanya, buat apa diwarnain sampe oren banget gitu kalo dari set dan kostum aja ngga ada yang matching dengan tahun 1960an? Rumahnya megah sekali, rasa-rasanya pada masa itu tren rumah belum seperti itu deh. Terus Shandy Aulia tetap cantik dan modern seperti biasanya, membuat Boy William jadi terlihat bodoh menggunakan topi pelukis dan baju ber-I don’t know what it’s called, tapi yang model Leonardo diCaprio di Titanic gitu.


Selina (Shandy Aulia), seorang gadis malang yang orangtuanya sudah meninggal dan hidupnya bergantung pada kakak iparnya, ternyata punya indera ke-6. Ia sering diganggu oleh makhluk-makhluk halus, sehingga ia sering ketakutan seperti orang gila, yang mengakibatkan ia tidak memiliki teman. Karena cadangan uang semakin menipis, kakak ipar dan suaminya (Kemal Pahlevi yang sok lucu itu) “mengusir” Selina ke Bandung, kembali ke rumah orangtuanya. Ternyata oh ternyata, rumah orangtuanya sungguh besar adanya. Tapi.. Auranya ngga enak, dan Selina tidak suka tinggal di situ. Yaiyalah, di atepnya ada gurita segede-gede gaban. Siapa yang ngeliat juga serem keleuss..

Tapi kakak iparnya yang jahat tetap memaksa Selina untuk tinggal di sana, dan dimulailah mimpi buruk Selina, sekaligus perjalanannya menemukan cinta sejatinya.

Setibanya di rumah tersebut, ia berkenalan dengan Tetanggaku Pelukis Ganteng, Rio (Boy William) namanya. Mereka sama-sama naksir, tapi Rio lebih berani untuk maju, sementara Selina takut diberi harapan palsu. Malam pertama Selina di sana, lagi tidur dia digrepe-grepe, lagi mandi dia diintip, dan lagi anteng-anteng dia ditakut-takutin – khas film horror Indonesia kebanyakkan (yang mana sebelumnya tidak diikuti Hitmaker). Selina tidak tau apa penyebabnya, dan dia tidak berani ngomong ke siapa-siapa, pun kepada Boy yang katanya percaya padanya. She kept her calm and chose to stay there walaupun gangguannya makin gengges.

Lagi seru-serunya diganggu setan-entah-apa di rumah itu, kakak ipar Selina mulai mendesak agar rumah tersebut segera dijual. Tapi Selina bersikeras meminta tambahan waktu karena ia merasa ada yang aneh dengan rumah itu, dan ia harus membereskannya terlebih dahulu, agar pemilik berikutnya tidak celaka. Tapi entah karena Selina masih bingung akan apa yang dihadapinya atau Selina purely malas, “pemberesan” yang ia janjikan pada kakak iparnya tak kunjung terwujud. Tiap hari kerjanya hanya tidur, masak, dan ketakutan karena diganggu setan. Sampe sebel gue, kapan mau diberesinnya wuoyyy.

Akhirnya tibalah waktunya di mana Selina tak tahan lagi, dan ia memutuskan untuk bercerita kepada Rio. Secara mengejutkan, ternyata Rio mendengarkan cerita Selina dengan tenang, dan diakhiri dengan jawaban, “saya juga sama seperti kamu, Selina.” Jeng jeng.

Rio lalu memutuskan untuk membantu Selina “membersihkan” rumahnya, dan tak lupa menyiapkan kejutan super romantis untuk Selina. Untuk sejenak, mereka pun lupa pada fakta menyeramkan di rumah tersebut. Sampai akhirnya mereka disadarkan oleh lukisan mata batin Selina yang ternyata adalah seorang jin (dan Jun)! Jeng jeng!


Secara ajaib, Selina tiba-tiba jadi pintar. Ia jadi tau gimana caranya untuk mengusir jin tersebut, yaitu dengan menguncinya di dalam botol (jeng jeng). Dia kemudian merapalkan mantra “Atas kuasa yang lebih besar, kuminta kau untuk tidak menginjak bumi. Masuklah ke dalam botol ini. Menyerahlah, menyerahlah.” Dan jinnya pun akhirnya masuk ke dalam botol, dan masalah selesai.

Eits, tapi filmnya belum selesai.

Seperti yang gue bilang di atas tadi, ternyata Rumah Gurita bukan cuma cerita horror. Hitmaker menambahkan satu unsur baru yang belum pernah ia lakukan sebelumnya (ya pernah sih di Mall Klender dan 308, tapi ngga sebanyak di sini). Hitmaker menambahkan unsur romance! Di akhir film, Rio dan Selina yang sudah hidup tenang berjalan bahagia berdampingan, di mana Selina tiba-tiba jadi sok bijak dan berkata, “saya percaya tiap orang akan bertemu jodohnya masing-masing, hanya tinggal menunggu waktu yang tepat saja. Kalau saya, sudah bertemu kamu.” Lalu mereka cipokan, sodara-sodara. Cipokan lamaaaaaa banget. Cipokan yang lamanya mungkin menyaingi lama adegan dia nangkep jinnya.


Zzzz. Zzzz. Zzzz.

Hitmaker, please don’t do that again. Please?

Komentar

Posting Komentar