Review: Tabula Rasa (Adriyanto Dewo, 2014)


Tabula Rasa berarti “blank slate, start over, start fresh”. Jika melihat referensi Wikipedia, Tabula Rasa juga digunakan untuk menggambarkan sisi “nurture” dalam debat “nature vs nurture”, di mana teori ini percaya bahwa manusia dilahirkan tanpa “isi” apapun, dan segala pengetahuannya datang dari latihan, pengalaman, dan juga persepsi dari orang-orang sekitarnya. Hal ini nampaknya digunakan untuk menggambarkan kisah Hans yang memulai kembali dari awal, dan semuanya diajarkan kembali padanya. Tapi dengan filmnya yang juga menggunakan makanan sebagai “wajah” cerita, bisa jadi sebagian orang – seperti saya – mengartikan Tabula Rasa sebagai sesuatu yang berhubungan dengan makanan, karena “Rasa” sangat erat kaitannya dengan makanan, kan?


Hans (Jimmy Kobagau) adalah seorang pemuda asal Serui, Papua, yang bercita-cita menjadi pemain sepakbola profesional. Mimpinya hampir terwujud ketika seorang recruiter berniat membawanya ke Jakarta. Tapi sayang, nasib berkata lain. Kakinya patah, klubnya mencampakkannya, dan sirnalah mimpinya. Ia pun hidup terlunta-lunta di Jakarta, tidur di pinggir rel kereta api, mencari makan dari sisaan orang, hingga akhirnya ia bertemu Mak (Dewi Irawan).

Mak iba pada Hans, dan membawanya ke rumah makan Padang miliknya. Hans diberi tempat perlindungan, Hans dipekerjakan, dan Hans disayangi Mak seperti anaknya sendiri, hingga membuat Parmanto (Yaya Unru), saudara Mak, kesal dan memutuskan berhenti jadi juru masak di restoran tersebut. Hans pun dilatih masak oleh Mak untuk menggantikan Parmanto, dan dengan demikian, dimulailah perjalanan seorang anak Papua yang menjadi juru masak di sebuah restoran Padang.


Lala Timothy selaku produser memiliki gestur yang sangat baik dengan membuat Tabula Rasa; dengan menjadikannya film Indonesia pertama yang mengangkat soal makanan Indonesia. Dan sebagai film “food porn”, Tabula Rasa berhasil membuat penonton kelaparan pada saat menontonnya, dan membuat mereka ingin segera mengunjungi restoran Padang terdekat setelah lampu bioskop kembali menyala.

Tapi sayangnya niat baik itu tak sepenuhnya berhasil ter-translate ke dalam sebuah penceritaan yang baik. You see, ketika Anda menonton sebuah film, biasanya Anda pasti menemukan sebuah perkenalan, lalu muncul sebuah masalah yang menjadi titik klimaks dari cerita, dan pada akhirnya adanya sebuah penyelesaian. Dengan Tabula Rasa, hingga ke pertengahan film, saya menunggu-nunggu datangnya klimaks. Tapi.. klimaks itu tak kunjung datang. Saya menunggu adanya suatu “big bang” atau masalah besar yang membuat cerita ini “naik”, tapi big bang itu.. tidak berhasil saya temukan…. Hingga akhirnya saya dihadapkan dengan credit title, yang kemudian membuat saya bingung: “Lho… Sudah selesai?” -- Dan hal ini lah yang menjadi masalah terbesar saya untuk menyukai Tabula Rasa sepenuhnya.

Ceritanya terlampau sederhana dan tidak memiliki daya tarik. Jika dijabarkan dalam satu kalimat, maka Tabula Rasa adalah film yang bercerita tentang seorang pemain sepakbola gagal yang kemudian bekerja di restoran Padang. Selanjutnya, -- walaupun klise – pasti ada pertanyaan di benak penonton, “apakah pada akhirnya ia berhasil mewujudkan mimpinya menjadi sepakbola?” Jawabannya adalah tidak. “Lalu, ceritanya begitu saja?” Hmm.. Ya, kira-kira begitulah..


But then again, seperti tagline-nya, “makanan adalah itikad baik untuk bertemu”. Tabula Rasa pun adalah sebuah film yang memiliki itikad baik, dan sebuah itikad baik harus tetap didukung. Apalagi, cara mereka berpromosi pun tidak seperti film Indonesia biasanya. Kapan lagi Anda bisa melihat poster film Indonesia terpampang di kotak popcorn bioskop? Baru Tabula Rasa yang melakukannya. ;)

P.S.: Kalau Anda penyuka musik jazz Prancis, Anda akan menyukai musik dan soundtrack dari film ini ;)

Komentar