Review: Seputih Cinta Melati (Ari Sihasale, 2014)


Seputih Cinta Melati tidak memiliki satu pun elemen menarik yang bisa menjadi nilai jualnya -- atau setidaknya bersaing dengan para kompetitornya yang tayang di hari yang sama. Poster yang super jelek, judul yang super butut (tiap mendengar judul ini kami teringat pada lagu anak-anak "Seputih Cinta Melati Alibaba, Merah-Merah Delima Pinokio"), dan trailer yang tidak menggoda sama sekali untuk ditonton. Tidak ada positioning yang jelas untuk film ini, pun target market yang ditujunya: anak-anak kah, atau para orangtuanya?

Kesalahan dasar dalam marketing ini pun akhirnya berdampak pada jumlah penontonnya yang sangat sedikit, hanya 3.327 penonton dalam seminggu masa penayangannya. Jumlahnya bahkan jauh lebih sedikit dibanding film horor ala-ala Kamar 207. Jelas, Seputih Cinta Melati kalah saing dengan para kompetitornya di lebaran tahun ini. 

Seputih Cinta Melati melupakan hal paling dasar, yaitu untuk menarik perhatian orang untuk menontonnya. Kami pun tadinya tidak memiliki niatan untuk menonton film ini, hingga akhirnya kami sadar bahwa ini adalah film buatan Alenia Pictures, dan banyak review masuk yang mengatakan bahwa film ini bagus.

Berdiri sebagai non-Alenia fans, kami pun tidak begitu mengikuti film-film Alenia sebelumnya, tapi kami sadar betul bahwa Seputih Cinta Melati cukup berbeda dibanding film-film Alenia sebelumnya yang lebih banyak mengambil setting di daerah timur Indonesia, dan menjadikan anak-anak sebagai tokoh sentralnya. Di sini, Ari Sihasale masih menjadikan anak-anak sebagai tokoh utamanya, tapi dengan intrik cerita orang dewasa, yaitu dua narapidana yang kabur dari penjara dan sedang dalam persembunyian. Setting-nya pun bukan di daerah timur seperti biasanya, tapi di daerah Jawa Barat dengan ke-Sunda-annya.

Hasilnya? Di luar posternya yang buruk rupa, judul yang sangat biasa, dan trailer yang tidak menggugah selera itu, kami dibuat termehek-mehek oleh kisahnya. Kepolosan anak-anak (Fatih Unru dan Naomi Ivo), serta chemistry mereka dengan dua tokoh dewasa, Asrul Dahlan dan Chicco Jerikho, meluluhkan hati kami. Akting mereka sungguh menyentuh hati. 

Asrul Dahlan tampil fantastis seperti biasa, dan Chicco Jerikho, yang hadir dengan pembawaan yang tak jauh berbeda dengan perannya di Cahaya Dari Timur: Beta Maluku juga bisa mengimbanginya dengan sangat baik. Dan seperti sebelum-sebelumnya, Ari Sihasale selalu berhasil mengarahkan anak yang bukan siapa-siapa macam Fatih Unru dan Naomi Ivo, untuk mengeluarkan kemampuan terbaik mereka, tanpa sedikitpun menghilangkan kepolosan asli khas anak-anak mereka. Canda, tawa, dan air mata, melebur jadi satu dengan khidmatnya.

Dengan pesan moral yang sangat bagus untuk anak-anak maupun orangtua, sebetulnya Seputih Cinta Melati bisa menjadi jagoan di lebaran kali ini. Sangat disayangkan penontonnya hanya sedikit.

Yuk semua, mumpung filmnya masih ada, kita ramai-ramai ke bioskop ajak anak, adik, sepupu, keponakan, pun orangtua, untuk menonton Seputih Cinta Melati!

Komentar