Review: 3600 Detik (Nayato Fio Nuala, 2014)


Bagi Anda pecinta dan pemerhati film Indonesia, Anda pasti mengenal nama Nayato Fio Nuala dengan sangat baik. Sutradara satu ini terkenal sebagai sutradara yang "ahli" dalam film-film bergenre drama-tragis-melankolis maupun horor-ala-kadarnya. Ia juga terkenal sebagai sutradara yang memiliki beberapa "nama samaran", tidak pernah hadir di premiere ataupun press screening film-filmnya, pun juga sebagai sutradara yang syuting tanpa skrip. Padahal, Nayato memulai karirnya di dunia perfilman dengan film-film yang terbilang cukup baik, seperti Cinta Pertama, Butterfly, ataupun Lewat Tengah Malam. Namun seiring berjalannya waktu dan kerasnya dunia perfilman, standar yang ditetapkannya di awal semakin menurun, walaupun, sinematografi film-film arahannya selalu cantik dan memiliki ciri khas tersendiri dan menjadikan hal tersebut sebagai salah satu "tanda pengenalnya" di dunia perfilman Indonesia.. Kini, bisa dibilang ia adalah sutradara terproduktif di Indonesia (atau mungkin dunia) dengan jumlah film lebih dari 50!

Di tahun 2014 ini, Nayato membuat sedikit perubahan yang cukup mengejutkan. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia kembali membuat film yang memiliki skrip! Dan skripnya pun ditulis bukan  oleh sembarang orang. Skripnya ditulis oleh seorang penulis muda berbakat, Haqi Achmad, yang terkenal sebagai penulis film komedi-romantis yang ringan dan juga akan kepiawaiannya bermain kata-kata yang sangat "quote-able" dalam setiap naskah film yang ditulisnya.

Lalu, bagaimana hasil perpaduan keduanya?

Hasilnya, film 3600 Detik yang merupakan film hasil adaptasi novel berjudul sama, tidaklah sama seperti film-film Nayato sebelumnya. 3600 Detik mendapatkan suntikan darah muda dari Haqi Achmad, dan menjadikan film ini terasa lebih ceria, tidak seperti film Nayato yang biasanya, yang memiliki tone yang mellow dan cenderung muram. Hal ini pun tampak dalam visualnya, dengan warna-warna yang lebih cerah, para "pengamat" Nayato pasti tidak dapat menebak bahwa ini adalah film dari seorang Nayato Fio Nuala. Dan tentunya, film ini sangat kaya dengan dialog-dialog yang catchy, memorable, dan quote-able, khas penulis skenarionya.

Dari departemen akting, sayangnya kedua pemain utamanya tidak benar-benar menonjol. Stefan William yang walaupun tampil super adorable, dari sisi akting tetap masih belum "believeable". Shae, pendatang baru yang sebetulnya adalah penyanyi, tampil agak terlalu berlebihan di beberapa bagian. Chemistry mereka pun belum lekat 100%, sehingga masih terasa agak canggung di beberapa adegan, tapi membaik seiring film berjalan menuju garis finish. Sementara pemain pendukung lainnya, yaitu orangtua Stefan William dan Shae, tampil cukup baik dan sesuai porsinya. Kredit lebih patut diberikan kepada Wulan Guritno, yang menunjukkan "perbedaan kelasnya" dan kematangannya dalam berakting.

Secara keseluruhan, 3600 Detik pasti akan disukai para remaja (terutama para Stefanatic, fans Stefan William), karena ceritanya yang ringan dan dialog-dialog yang sangat quote-able dan tweet-able, hal yang "ABG masa kini banget".






Komentar

Posting Komentar