Review: The Right One (Stephen Odang, 2014)


Kami tahu tentang film The Right One ini melalui salah seorang teman yang mem-posting trailer film ini di Facebook-nya, dan ditambahkan keterangan bahwa menurutnya film ini menarik. Karenanya, kami pun jadi tergerak untuk melihat trailernya. Setelah menonton trailer berdurasi dua menit ini, kami langsung merasakan ada yang aneh. Bukan karena film ini terlihat sekali sebagai film indie yang berharap jadi film idealis yang cantik, bukan. Tapi lebih ke... "ada-yang-aneh-dengan-akting-dan-dialog-dialognya".

Setelah filmnya tayang, review-review (yang kebanyakkan) bernada negatif pun berhamburan. Suara-suara sumbang tersebut banyak mengeluhkan masalah bahasa di film The Right One ini. Ada yang mengeluhkan translate-an Bahasa Inggrisnya "sok asik", ada yang bilang penggunaan Bahasa Inggrisnya terlalu dangkal, pun juga menyesalkan storytelling dan directing yang biasa-biasa saja.

Berawal dari trailer yang tidak terlihat menarik untuk kami serta membaca berbagai review buruk tentu membuat kami semakin tidak memiliki hasrat untuk menonton film The Right One. Namun setelah membaca review sinis tapi sangat membuat penasaran dari Bung Oldeuboi, kami jadi tertarik untuk mencoba menontonnya dan melihat sendiri dengan mata kepala kami.

Namun beberapa hari kemudian, sebuah review bernada sengit lainnya muncul dari situs ternama Film Indonesia. Membaca ulasan filmnya saja membuat niat kami kembali surut.. tapi membaca komentar dari salah satu aktor sekaligus produsernya, Gandhi Fernando, di ulasan tersebut membuat hasrat menonton kami betul-betul hilang. Ingin sekali rasanya kami membalas komentar Bung Gandhi di sana, tapi haram rasanya kalau kami berkomentar tanpa menonoton filmnya terlebih dahulu. Tapi akhirnya kami menguatkan hati dan memutuskan untuk pergi ke bioskop dan membeli tiket film The Right One.

Oleh karena itu itu, sebelum berlanjut ke review film The Right One, izinkanlah kami melalui tulisan ini membalas secara singkat komentar yang ditinggalkan Bung Gandhi di situs tersebut.

Halo Bung Gandhi, nama saya Kania Kismadi. Saya penulis review ini sekaligus pemilik blog NgobrolinFilm.com. Hampir seluruh crew dan cast dari NgobrolinFilm.com telah membaca komentar Anda di sini. Tapi on behalf of all of us, saya yang akan maju dan take time to reply sama komentar Anda yang benar-benar (maaf) bodoh ini. Ya of course, Anda berhak membela film yang Anda mainkan sekaligus produseri sendiri ini. Itu sah-sah saja. Tetapi Anda di sini sepertinya kurang menyimak pelajaran Sosiologi di bangku SMA dulu.

Sadarkah Anda bahwa 5 poin yang Anda buat sebagai bentuk pembelaan Anda hanya berintikan satu poin saja, yaitu: "seluruh karakter dalam film tidak pernah sekalipun disebutkan bahwa mereka asli Bali atau penduduk Bali." - Ketika Anda menyebutkan poin tersebut, maka seluruh argumentasi dari Bung Makbul di review tersebut will be invalid - and we're totally fine with it. Itu artinya, Anda tidak perlu memperpanjang penjelasan Anda hingga 5 poin, karena penjelasan yang dipanjang-panjangkan tersebut malah menunjukkan bahwa Anda tidak memperhatikan pelajaran sosiologi waktu Anda di SMA dulu.

Anda belum paham juga maksud saya ya? Coba baca kembali poin ke-5 yang Anda buat.
"Soal kedua karakter tidak mengenal budaya Bali… Sekali lagi, mereka pendatang yang tinggal dan sekolah di Bali. Saya saja yang lahir dan tinggal di Jakarta. Keturunan India-Betawi-Manado. Saya belum pernah ke Monas, Lubang Buaya, ke Patung Soekarno-Hatta di Jln. Proklamasi, banyak museum-museum di Jakarta, kebun binatang Ragunan, melihat Patung Pancoran kecuali dari jalan tol atau dari film Adriana, ke TMII kalau kebetulan sedang shooting sinetron saja, serta terakhir kali melihat tari Ondel-ondel saat saya berumur 8 tahun. Which is, 16 tahun yang lalu. Dan tanpa rasa malu, itu memang sebuah kenyataan. Hampir dari semua teman-teman saya pun juga jarang bahkan ada yang tidak pernah pergi-pergi ke tempat pariwisata di kota tempat tinggalnya sendiri. Saat di Bali pun saya banyak bertemu orang yang tinggal di Bali dan belum pernah pergi ke Besakih Pura." - Well, hello.. Apakah Anda tahu arti dari "budaya"? Kalau tidak tahu, coba baca ini dulu atau ini. Kalau sudah baca, menurut Anda, apakah tempat-tempat yang Anda sebutkan itu termasuk budaya?

Itu saja balasan singkat dari saya, on behalf of all cast & crew. Hal kecil, tapi sangat menganggu.

Nah, sekarang kembali ke review kami tentang film The Right One.

Perlu diketahui bahwa kami menonton film ini dengan full objectivity and clear mind, yang artinya kami telah mensterilkan dulu isi kepala kami dari review-review buruk tersebut sebelum melangkahkan kaki ke bioskop dan menonton filmnya. Dan setelah kami tonton, menurut kami, filmnya tidak seburuk yang dikatakan orang-orang. Kami berhasil menikmati filmnya dan bahkan menyukai lagu-lagu yang mengiringi film tersebut.

Namun memang, ini film yang biasa-biasa saja, tidak istimewa, tapi jelek sekali pun tidak. Ceritanya standar, dialog-dialog yang mestinya menjadi jagoan di film ini malah melempem dan tidak bersinar, dan worst of all, hampir semua pemainnya tidak bisa berakting (hanya akting Papa dan Mama Gandhi Fernando saja yang menyenangkan untuk ditonton).

Overall, terlepas dari kejanggalan adanya satu kalimat dalam Bahasa Indonesia di tengah kepungan dialog-dialog berbahasa Inggris, film The Right One pasti akan tetap disukai oleh muda-mudi (terutama yang sedang dimadu cinta) yang datang ke bioskop untuk mencari film dengan tujuan hiburan belaka. Tapi untuk penonton yang menonton film bukan untuk sekedar menonton (tapi juga me-review, mengkritik, dll dll), tentu saja film The Right One tidak akan memuaskan mereka.

***

Mini game!
Menurut kalian, kenapa sih film The Right One memasukkan deretan-deretan flashback ke filmnya? Menurut kalian, apa sih yang ingin film ini sampaikan?

Tuliskan jawaban kalian di kolom komentar di bawah ini, dan mungkin kami akan memberikan hadiah kecil bagi jawaban yang menarik! :)

Komentar

  1. Kritikan pedeus saya buat ilm ini. Terlalu banyak flashback, bahasa inggris dangkal banget, dialog yang ga jelas juntrungannya, dan bikin filmnya asal-asalan. Alasan kenapa film ini terkesan asal-asalan karena saya melihat lebih banyak film ini copy paste film The Lucky One versi Hollywood yang dibintangi Zac Efron. Untuk para movie maker Indonesia tolong sedikit kreatif dan inovatif kalau membuat film.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hai! Thanks udah mampir ya :)

      Kami juga awalnya berpikiran sama dengan kamu soal flashback.. tapi setelah dipikir-pikir lagi, kayaknya flashback yg banyak itu ada tujuannya deh.. Mereka kayak mau kasih liat kalo emang the right one itu akan muncul di the right moment juga.. Jadi walau mereka udah berkali-kali "dipertemukan" tanpa sadar, tapi karena itu belom jadi momen yg tepat untuk say bahwa he/she is "the right one", maka mereka ga bener-bener dipertemukan. That's what we think sih :)

      Sementara untuk sisanya, setuju :D

      Hapus
  2. hello kania, bagus review filmnya. Mau ikutan komentar yap, sebenarnya ini film bagus pas awal gue baca skenarionya tapi banyak tapinya yang sangat disayangkan banget. Apalagi gue ikut produksinya lebih nyes pas ikut syutingnya, hehehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hi Stefanus, thanks udah mampir ya! :)

      Kalo ga salah kita temenan di fesbuk dan pernah produksi bareng film pendeknya Lady kan ya? :D

      Ahahaha, ternyata ikut produksinya juga toh.. Iya, sebetulnya gue juga ngeliat film ini sebetulnya punya ide yg potensial, dan gw sebetulnya suka flashback-flashback nya itu -- yg mungkin menurut kebanyakkan orang ga berguna, tapi gw rasa itu memperkuat maksud dari judul filmnya sendiri, seperti balasan yg gw berikan ke komentar anonim di atas. Tapi ya itu dia, the acting are super sucks, hahaha. Bahkan Tara Basro jadi terlihat jelek sekali di sana :D

      Yah, mudah-mudahan produksi berikutnya si Gandhi lebih baik deh yaa :)

      Hapus
  3. oh iya, hahahaha.. duh baru sempet baca lagi comment. ya mudah2an deh gandhi bis alebih baik di produksi berikutnya :)

    BalasHapus

Posting Komentar