[REVIEW] JAKARTA HATI


Salman Aristo rasa-rasanya adalah penulis terbaik di Indonesia. Bukan hanya bisa menghasilkan cerita yang solid, dialog yang cantik, film yang jaminan mutu, tapi juga film yang laris secara komersil. Sebut saja dua box office Indonesia sepanjang masa: Ayat-Ayat Cinta dan Laskar Pelangi. Dan cukup jarang seorang filmmaker di Indonesia yang bisa menggabungkan idealisme, kualitas, dan di saat bersamaan juga kuat secara komersil dan bisa diterima masyarakat.

Lebih aktif di dunia tulis menulis, Salman Aristo yang memulai debut penyutradaraannya di Jakarta Maghrib, melanjutkan "sekuelnya" dengan Jakarta Hati.

Masih mengusung tema omnibus, konsep yang ingin dibawakan Salman kali ini adalah sebuah kondisi di mana masyarakat Jakarta sudah "kehilangan" hatinya, sehingga tiada lagi rasa bahagia. Kira-kira seperti itu. Tapi sayangnya, penyampaiannya tidak membuat saya mendapatkan pesan itu.

Orang Lain
Dibuka dengan Asmirandah yang menghampiri Surya Saputra di sebuah kedai kopi, dan berkata, "Istri Anda selingkuh dengan pacar saya." Jeng jeng! Chemistry yang kurang hangat dan penceritaan yang kurang gamblang, membuat saya bertanya-tanya, "apa pula ini maksudnya?" Ketika film berakhir.

Masih Ada
Dilanjutkan dengan kisah tentang betapa politisi tidak memiliki perasaan lagi dan dengan bahagianya bersenang-senang di atas kesusahan yang dihadapi masyarakatnya. Hingga Marzuni (Slamet Rahardjo) disadarkan dan (nampaknya) berniat bertobat di akhir film. 

Kabar Baik
Berikutnya, sebuah segmen yang entah mengapa mengingatkan saya akan sebuah segmen di Dilema, tentang seorang polisi yang berada di antara dua pilihan: memenjarakan atau membebaskan ayahnya yang ternyata adalah seorang penjahat. Mana yang akhirnya dipilihnya? Saya tak tahu, karena ending-nya agak tidak jelas menurut saya.

Hadiah
Kapan pernah Dwi Sasono tampil tidak maksimal? Berperan sebagai seorang penulis super idealis yang harus memilih antara idealismenya dan kelangsungan hidup anaknya. Cukup touchy dan mudah dimengerti.

Dalam Gelap
Segmen ke-2 dari terakhir ini adalah salah satu favorit saya. Dengan wajah yang tak terlihat karena ber-setting dalam kondisi mati lampu, Agni Pratistha dan Dion Wiyoko, pasangan pasutri yang sudah mulai tak hangat lagi cintanya, berhasil menampilkan karakternya dengan sangat kuat lewat dialog-dialognya yang gamblang dan berani, dan diambil dalam sebuah one shot, tidak ada cut dan edit, langsung selama 19 menit. Bravo!

Darling Fatimah
Seperti memanaskan penggorengan, makin lama makin panas, begitupun dengan Jakarta Hati. Dua segmen terakhir membawa perasaan kita meletup-letup karena keberanian Salman dalam membuat dialog yang sederhana tapi ngena. Chemistry Shannaz Haque dan Framly juga sangat kuat dan mengalir natural. Bold and brave!

So, which segment is your favorite?

Komentar

Posting Komentar