[REVIEW] Sanubari Jakarta




Gay, lesbian, biseks, dan transgender adalah topik pembicaraan yang tiada habis-habisnya menuai kontroversi. Ada yang pro, ada yang kontra. Ga cuma di negara berkembang macam Indonesia, tapi juga negara adidaya macam Amerika sana, belum ada yang satu suara mengenai LGBT ini. Nah, bisa bayangkan kan, bagaimana susahnya membawakan tema semacam ini di Indonesia, jika negara yang dianggap open minded dan sudah maju saja belum bisa melegalkan kaum ini sepenuhnya?

Maka dari itu, keberanian Lola Amaria selaku produser, beserta 10 talenta muda lainnya yang berani mengangkat isu ini patut diberi apresiasi lebih, walau jujur saja, dari 10 film pendek yang disajikan, tidak semuanya berhasil memuaskan penonton. Tapi yah, namanya omnibus, pasti ada beberapa yang menjadi favorit, beberapa yang tidak. Mari kita bahas satu per satu filmnya.

Film dibuka dengan ½, besutan Tika Pramesti dengan ide dan visual yang unik, cantik, dan menarik. Diceritakan dengan gaya yang bisa jadi agak membingungkan bagi sebagian orang, mungkin pesan cerita ini agak tidak tersampaikan dengan baik. Tapi saya yakin, dengan visual unik yang ditampilkan, ½ meninggalkan sebentuk senyum dan kenangan manis bagi penontonnya.

Film dilanjutkan dengan Malam ini Aku Cantik yang disutradarai oleh Dinda Kanya Dewi. Ceritanya standar, mengangkat tema transgender yang sudah cukup sering diekspos di film-film Indonesia, walau awalnya terkesan agak membosankan, tapi kata-kata terakhir yang diucapkan Agus, si tokoh utama, berhasil menyentuh hati saya.

Setelah menyutradarai Malam ini Aku Cantik, kali ini Dinda Kanya kembali ke profesi awalnya sebagai aktris, dan bermain sebagai seorang guru TK yang menemukan cintanya di diri Ibu salah satu muridnya, di film arahan Lola Amaria berjudul Lumba-Lumba. Film ini tidak istimewa, tapi metafora lumba-lumba yang digunakan Lola untuk menggambarkan penyuka sesama jenis ialah sangat pintar.

Terhubung, adalah sebuah film yang sangaaaaatttt tidak jelas, seolah-olah film ini dibuat tanpa makna dan tanpa tujuan. Tanpa ada sesuatu yang ingin disampaikan. Untungnya, setelah itu Sanubari Jakarta dilanjutkan dengan Kentang yang menghibur, lugas, dan berani. Saking lugasnya film ini berbicara, mungkin Kentang dianggap sedikit vulgar oleh sebagian orang yang masih agak sedikit tertutup soal isu LGBT, tapi ditertawai dengan ringannya oleh orang-orang yang sudah “biasa” melihat hal-hal semacam ini terjadi. Sebuah karya yang luar biasa dari Aline Jusria yang biasa melakukan penyuntingan gambar di film-film sebelumnya.

Film setelahnya pun membuat penonton tersenyum dengan caranya sendiri yang unik. Berwarna hitam putih dan tanpa dialog, Menunggu Warna berhasil menyampaikan kisahnya dengan cantik, dan menyentuh.

Setelah disajikan film yang sweet, kita disajikan sebuah film yang cukup “keras”. Lagi-lagi tentang sepasang lesbian, tapi perempuan satunya rupanya ingin menikah dengan seorang pria. Oow. Bisa dibayangkan bagaimana wanita marah? Ada di Pembalut. Buat saya, kisahnya sendiri agak tidak memiliki poin untuk diceritakan. Tidak ada kesinambungan, sehingga seperti Terhubung tadi, penonton bisa saja berkata, “so what?” di ending-nya.

Dua film berikutnya, Topeng Srikandi dan Untuk A juga sama tidak jelasnya dan tidak mampu diceritakan dengan baik, sehingga ending-nya juga penonton akan berkata “apa pula ini?”. Namun untungnya, Sanubari Jakarta diakhiri dengan sebuah Kotak Coklat yang dibungkus dengan manis dan menjadi garis merah bagi semua filmnya, dan bagi semua makhluk hidup: cinta itu seperti kotak cokelat berisi beragam rasa, kamu ga tau bisa dapet yang enak atau yang ga enak. Tapi satu yang pasti, cokelat tetap disukai semua orang dan bisa menjadi milik siapa saja, termasuk lesbian, gay, biseks, dan transgender. :)

Komentar

Posting Komentar