[REVIEW] Sampai Ujung Dunia



Pada dasarnya, Sampai Ujung Dunia yang disutradarai oleh Monty Tiwa ini tak jauh berbeda dengan FTV-FTV yang biasa kita saksikan di SCTV. Hanya saja, kalau FTV hanya mampu terbang/berlayar sampai Bali, Sampai Ujung Dunia berhasil terbang dan berlayar hingga negeri kincir angin, Belanda. Plotnya? Tiga orang sahabat, dua laki-laki, satu perempuan, jatuh cinta. Klise? Pastinya. Dengan hanya melihat urutan nama di jajaran pemain pun penonton pasti tahu ke mana hati si wanita akan berlabuh dan mendarat.

Sampai Ujung Dunia menggunakan banyak filosofi di balik pemilihan nama serta profesi, untuk memperkuat pesan yang ingin disampaikannya lewat media gambar. Pertama, Daud yg miskin dan memilih sekolah pelayaran. Kedua, Gilang yang kaya dan pilihannya untuk menuju Belanda dengan masuk sekolah penerbangan. Bisa ditangkap kah maksudnya?

Kalau belum, ingat kah tokoh Daud dan Goliath di kitab-kitab suci? Di mana Daud yang kecil (seperti laut yang berada di bawah langit) bisa mengalahkan Goliath yang perkasa (berada di atas) dengan berlandaskan keyakinan? Mengerti sekarang? :) Di film ini hal yang sama pun akan terjadi pada Daud dan Gilang (Goliath).

Oke, beranjak dari filosofi yang dibahas terlalu jauh di atas. Sekarang kita masuk ke elemen yang paling utama. Cerita. Cinta adalah tema universal yang mau beratus-ratus ribu kali diceritakan dengan beragam metode dan versi, orang tak akan pernah bosan untuk menontonnya, karena setiap orang pasti pernah merasakan cinta. Dan sudah umum diketahui juga bahwa ketika cerita yang ditawarkan adalah cerita yang banyak orang bisa tau ke mana arah ceritanya tanpa harus menjadi sang sutradara, di sinilah peran sutradara justru menjadi krusial. Bagaimana ia bisa membawakan filmnya secara menarik dan membuat orang ikut masuk hingga pro atau kontra ke karakter-karakter tertentu dalam filmnya.

Sayangnya, inilah yang saya pribadi merasa agak kurang dari Monty. Sedari awal, terasa betul ketimpangan antara kedua karakter, di mana Monty yang berlaku sebagai sutradara dan penulis naskah lebih menganakemaskan Daud tanpa alasan yang jelas. Dan sedari awal pula kita bisa melihat bahwa Anisa lebih pro ke Daud ketimbang ke Gilang, sehingga aroma perseteruan dan usaha untuk "memperebutkan" Anisa dari kedua belah pihak pun terasa tak imbang dan tak berarti. Akibatnya, penonton (atau mungkin saya pribadi) tidak dapat merasakan besarnya cinta Gilang pada Anisa, tapi sadar betul bahwa Anisa dan Daud saling mencinta, hingga Gilang di sini hanya berperan sebagai penganggu saja. Dan ketimpangan ini pulalah yang membuat saya tak terlalu menyukai Sampai Ujung Dunia, karena tiada rasa penasaran saya untuk mengetahui kepada siapa hati Anisa tertambat sebenarnya. Simpati kepada para tokoh inilah sebenarnya yang menjadi salah satu elemen terpenting dalam kisah-kisah seperti ini, apakah penonton berhasil ditarik masuk ke film atau tidak; apakah si tokoh berhasil mendapat pendukung atau tidak.

Selain keganjilan tadi, sebenarnya Sampai Ujung Dunia bukanlah sekadar proyek buang-buang uang untuk jauh-jauh ke Belanda saja. Keindahan negeri tulip ini berhasil ditangkap dan dimanfaatkan dengan maksimal oleh Rollie Markiano (DOP). Hal ini juga didukung oleh penampilan para pemainnya yang berhasil memberikan penampilan senatural mungkin, termasuk perkembangan karakternya dari SMA, masuk ke sekolah pelayaran dan pelabuhan, hingga akhirnya mereka menjadi lebih dewasa dalam bersikap dan bertutur kata. Dan yang paling menyenangkan adalah melihat cara Monty menceritakan kisahnya dengan alur maju mundur yang menarik, serta disunting pula dengan cantiknya oleh Cesa David Lukmansyah.

Well, in the end, love story is something that most people will love because love never ends, right? It will come after you until the end of the world :)

Komentar

  1. Recomended Film lohh..

    BalasHapus
  2. SO SWEET...agak mirip dgn kisah cintaq,,dan endingnya mirip,yg berlayarpun yg menang

    BalasHapus

Posting Komentar