[REVIEW] PUPUS



REVIEW

Secara mengejutkan Maxima Pictures yang biasanya mengeluarkan film horror esek-esek, tahu-tahu merilis sebuah film drama percintaan (lagi) -- setelah sekian lama! Dan ternyata, film ini bisa dikatakan merupakan sebuah ajang promosi bagi dua sponsor utamanya, Universitas Trisakti dan handphone Pins.


Trailer dan posternya sendiri secara mengejutkan sangat menarik dan sangat indah dipandang mata. Tapi, bagaimana dengan filmnya secara keseluruhan?

Pupus, yang juga merupakan judul lagu Dewa19 dan menjadi music pengiring hampir di sepanjang film, sebetulnya mengangkat kisah cinta klasik yang sangat klise. Percintaan dua orang muda mudi, tapi salah satunya ternyata mengidap penyakit mematikan (yang tak lain tak bukan tak jauh-jauh dari kanker), sehingga endingnya pastilah sangat bisa tertebak, bahwa mereka tidak akan hidup berbahagia selamanya.

Sebetulnya, plot yang sangat mudah ditebak bahkan saat film baru mencapai 1/3 babak ini bisa dieksekusi dengan lebih baik, dan pemainnya akan menjadi kekuatan utama yang menentukan apakah film dengan jalan cerita standar seperti ini bisa berhasil atau tidak. Ternyata, pemainnya gagal melakukan tugasnya dengan baik. Tidak ada chemistry antara Donita dan Marcell Chandrawinata. Mereka menunjukkan aura penuh cinta ala kadarnya, dan tidak timbul percik-percik asmara dari dalam diri mereka, sehingga penonton pun tidak bisa merasakan betapa besarnya cinta mereka.

Faktor kedua yang tidak mendukung optimalisasi film ini adalah skenario yang berusaha dibuat se-menguras air mata mungkin, tapi nyatanya malah over dramatis. Banyak dialog-dialog yang berlebihan, yang juga disampaikan dalam emosi yang tidak pada tempatnya, salah satunya adalah adegan ketika Cindy ‘melabrak’ Panji ketika mengetahui bahwa Panji ribut-ribut dengan Hugo. Selain itu, terdapat pula adegan-adegan yang ‘menggampangkan’ masalah, seperti adegan ‘pengejaran’ kakak kelas yang berulang tahun sama dengan Cindy – scene ini terlalu mudah, sehingga tidak memperlihatkan usaha yang dilakukan Cindy untuk memenuhi permintaan seniornya waktu ospek. Atau ketika Cindy diajak ke  klub oleh Hugo pada hari ulang tahunnya – seorang gadis polos yang tidak pernah ke tempat-tempat malam seperti itu tahu-tahu langsung mabuk-mabukkan. Sungguh mempermudah proses.

Namun, di balik kekurangan yang ada, akting Donita cukup enak untuk ditonton, tidak berlebihan, dan dia pun berhasil tampil maksimal di beberapa adegan, khususnya pada adegan yang menjadi trailer dari film Pupus sendiri. Marcell Chandrawinata memainkan perannya dalam level aman menjadi seorang pria romantis pesakitan yang tak ingin mengecewakan wanita yang dicintainya lagi. Namun lagi-lagi, jika saja sparks yang timbul di antara mereka lebih kuat, maka emosi pun akan tersampaikan dengan lebih baik. Selain itu, visual yang cantik pun membuat film ini enak dilihat – selain Marcell Chandrawinata yang ganteng tentunya :p

Overall, Pupus bukanlah film yang membanggakan dari segi cerita. Film ini akan jauh lebih baik jika yang menontonnya adalah orang-orang yang melihat film sebagai sebuah hiburan semata, dan tidak meributkan faktor cerita atau yang lainnya sebagai suatu kekurangan.

PS: kualitas audio nya memang buruk, atau di studio tempat gue nonton tadi yang memang sound nya jelek?

Komentar

  1. aku setuju banget. aku juga udah nonton filmnya, dan hasilnya aku ga dapet feel-nya. pas adegan seneng ga kerasa senengnya, pas adegan sedih ga ikut sedih. pas adegan lucu sih masih lumayan.

    ya semoga per-film-an Indonesia segera bangkit dan bisa membanggakan di kancah internasional, amin.

    BalasHapus

Posting Komentar