[REVIEW] Love in Perth



REVIEW


Setelah Eiffel I'm in Love dan Lost in Love yang mengambil lokasi di Paris dan Venice, kini muncul lagi kisah drama romantis remaja yang senada, dan mengambil lokasi lagi-lagi di luar negeri, tepatnya di Perth, Australia. Tanpa perlu membaca sinopsisnya dan dengan hanya melihat judul serta posternya saja, kita semua pasti tahu mau dibawa ke mana dan akan seperti apa film ini diceritakan. Seorang gadis yang kurang populer jatuh cinta pada si cowok populer yang tidak membalas cintanya, lalu muncul sosok ke-3 yang hadir sebagai pendengar yang baik, tapi pada akhirnya malah si cowok populer lah yang mengejar-ngejar sang gadis. Basi dan sangat ketebak.

Setelah Rachmania Arunita yang memegang kendali atas dua film sebelumnya, kini seorang Titien Wattimena yang memang terkenal akan kisah-kisah drama romantis yang menjadi penulis dalam penceritaan cinta tiga remaja ini. Disutradarai Findo Purnomo HW (Paku Kuntilanka, Hantu Tanah Kusir, dll), cerita yang sudah sangat klise dan standar ini pada akhirnya tampil dengan tingkat kestandaran yang di bawah standar, dan tak lebih dari sekedar remake dua film pendahulunya.

Chemistry dan emosi yang tidak terbaca dan tidak terasa menjadi poin penting kegagalan tersebut. Dari ketiga aktor utamanya, hanya Derby Romero yang sebelumnya juga pernah bermain film Petualangan Sherina lah yang paling bisa menunjukkan feeling seperti yang seharusnya ditampilkan; seorang cowok sombong yangg akhirnya jatuh cinta. Sementara sang gadis yang diberikan cinta, Gita Gutawa, seperti tidak balik mencintainya sepenuh hati; matanya kosong, perasaan berbunga-bunga layaknya seorang yang bahagia karena cintanya berbalas tidak muncul. Sehingga timbul kesan bahwa Lola terpaksa membalas cinta Dany. Di lain sisi, sang sahabat yang ternyata mencintai Lola tapi tak dicintai kembali, Hari (Petra Sihombing), juga tampil kurang gereget dan sangat datar. Perasaan cemburu yang muncul pun sangat ala kadarnya dan terlihat tidak sungguh-sungguh.

Entah karena faktor umur yang belum terlalu matang, pendalaman karakter yang kurang, skrip yang memang luar biasa standar, atau kurangnya pengarahan sutradara yang membuat Love in Perth tak akan ada bedanya jika disyuting di Jakarta -- yang menghabiskan biaya lebih sedikit tentunya. Karena toh kota Perth yang merupakan kota pendidikan di Australia tak diekspos lebih jauh selain dijadikan pajangan yang menghiasi hari-hari ketiga remaja ini yang kebanyakan malah dihabiskan di apartemen dan taman..

Sebenarnya, plot standar seperti ini bisa saja menjadi film yg menarik, Hari Untuk Amanda contohnya. Tapi toh pada akhirnya film seperit ini terus dibuat dan terus laku -- terbukti dari sudah bertahan nya Love in Perth di bioskop selama hampir satu bulan. Karena pada dasarnya film-film seperti ini menjual mimpi yang diinginkan hampir semua gadis remaja, di mana kehidupan cinta ialah indah dan pasti berakhir bahagia. So, walau sesederhana dan seklise apapun ceritanya, plot seperti ini tak akan pernah dimakan usia. ;)

Komentar

Posting Komentar