[Review] Satu Jam Saja


"Seandainya saja Tuhan memberikan waktu satu jam saja untuk mencintai kamu, pasti hidupku akan bahagia"

Review
Senada dengan Rhoma Irama yang kembali menginjakkan kaki ke dunia perfilman lewat Dawai 2 Asmara nya, Rano Karno kemudian mengikuti jejak Bang Haji, dengan meluncurkan sebuah film berjudul Satu Jam Saja, yang ditulisnya, dimainkannya, sekaligus diproduksi di bawah PH nya, Karnos Film. Mengajak bintang-bintang muda yang cukup memiliki nama di kancah perfilman Indonesia, Vino G Bastian, Revalina S Temat, dan Andhika Pratama, apakah nama Rano Karno dan para pemainnya mampu "menjual" Satu Jam Saja?

Secara keseluruhan, film ini bisa dibilang cukup baik, walau tidak istimewa. Padri Nadeak - yang juga DOP trilogi Merah Putih - dengan cakap memberikan visualisasi yang memanjakan mata, baik dari segi warna angle, dan tentunya pemandangan dari setiap lokasi. Di lain sisi, Purwacaraka, yang baru pertama kali terlibat dalam pengisian musik sebuah film, well.. cukup memenuhi apa yang diinginkan pembuat filmnya, yaitu melodi-melodi lembut yang membantu mendramatisir suasana.

Gue juga harus memuji tim make up nya, karena gue baru kali ini liat Vino sekinclong itu, seakan-akan gue melihat Brad Pitt jadi muda lagi di Benjamin Button. Bukan artinya Vino tua loh - maaf para penggemar Vino - tapi Vino jelas jauh lebih fresh ketimbang penampilannya di film-film lainnya. Eh, apa itu juga CGI, seperti di Benjamin Button? *apa sih* 

Nah, kisah kelamnya sendiri sudah dibuka sejak awal, sehingga sepanjang film berlangsung, aura yang dirasakan adalah aura kesedihan, kemarahan. Tapi Ario Rubbik tampaknya sedikit kebingungan menemukan emosi seperti apa yang ingin ia sampaikan, sehingga seringkali terlihat adanya character conflict dalam diri masing-masing karakter. Belum lagi chemistry yang kurang erat antar Vino-Reva-Andhika. Hasilnya? Kalo ditanya nangis, ya gue nangis (gue emang gampang banget terharu. hahaha), tapi gue nggak merasa simpatik terhadap keresahan, kesedihan, dan kemarahan para tokoh, yang semestinya harus dapat dirasakan oleh penonton. 

Rano Karno, yang mungkin karena sudah terlalu lama tidak menulis cerita, hampir sama seperti Rhoma Irama, ia tampaknya tidak mengikuti perkembangan "bahasa gaul" anak muda zaman sekarang, sehingga dialog-dialog yang ia tulis terdengar sangat kaku dan cheesy. Jokes-jokes yang dilempar, walaupun masih bisa membuat tertawa, tapi sangatlah dapat ditebak sebelumnya. Tapi mungkin dialog-dialog ala 80an ini dirindukan para penonton, karena gue baru denger kabar kalo film ini full house di bioskop-bioskop - which is a good sign.

Sebagai debut penyutradaraan, Ario Rubbik telah memberikan usaha yang patut dihargai, dan dia hanya perlu jam terbang lebih untuk mengasah kemampuannya. Sementara Vino, gue menemukan fakta menarik di sini: Vino tampaknya berbakat main film komedi, karena ia bisa menampakkan raut wajah yang cukup komikal untuk membuat penonton tertawa. ;)

Komentar

  1. Vino di CAS kan juga lucuu kan!! apalagi waktu jadi bencong di The Police. hahahahaha. I lope you pull dah.

    BalasHapus
  2. nice review..
    tp kenapa saya pribadi lebih suka mengomentari akting andhika pratama ya klo ditanya soal film ini.. hehe.. tp kmu sama skali ga mengulas ttg pemain lain selain vino..

    BalasHapus

Posting Komentar